Setelah
ditemukannya makam Walipitu ke-1 di atas, kemudian ditemukan 2 makam keramat
lainnya di kota Denpasar, yakni : 1) Makam keramat Pamecutan, milik Gusti Ayu
Made Rai, alias Raden Ayu Siti Khotijah di Jln. Batu Karu Pamecutan Kota
Denpasar Barat, dan 2) Makam keramat Pangeran Sosorodiningrat dari Mataram Islam
di desa Ubung, dekat terminal Bus kota Denpasar. Menurut Tim penelusuran dan
penelitian Walipitu, kedua tokoh ini tidak termasuk hitungan Walipitu Bali.
Makam
keramat Pangeran Sosrodiningrat, menurut cerita versi ke-1 merupakan makam
milik Pangeran Sosrodiningrat, suami Raden Ayu Siti Khotijah. Dia menikai Siti
Khodijah karena telah berjasa membantu ayahandanya, Raja I Gusti Ngurah Gede
Pamecutan, ketika berperang melawan Kerajaan Mengwi dan mendapat kemenangan.
Lokasi
makamnya di kampung Ubud dekat terminal bus kota Denpasar. Kini, makam keramat
Pangeran Sosrodiningrat dibawah pengawasan dan pemeliharaan Bapak K.H.M. Ishaq,
sesepuh Kampung Islam Kepaon Denpasar.
Sedangkan Makam Keramat Pamecutan merupakan
makam Islam milik seorang putri kerajaan Badung-Pamecutan yang bernama asli
Gustu Ayu Made Rai. Nama lainnya adalah Raden Ayu Anak Agung Rai dan Raden Ayu
Siti Khotijah (nama setelah dia masuk Islam). Menurut satu sumber dari keluarga
Puri Pamecutan (Lanang Dawan), bahwa Raden Ayu adalah putra Raja Pamecutan III
yang bergelar Ida Bhatara Maharaja Sakti, dan adik dari Raja Pemecutan IV, I
Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Sedangkan menurut sumber yang lain (Bpk KH M.
Ishak, tetua desa Kepaon), beliau adalah adik dari Raja Cokorda Pamecutan III.
Lolasi makamnya di Jl. Batu Karu kota
Denpasar Barat, searah dengan jalan menuju perumnas Monang-maning Denpasar.
Makam keramat ini berhadapan dengan sebidang tanah yang cukup luas sebagai
tempat “ngaben” (pembakaran mayat umat Hindu).
SEJARAH
TOKOH.
Siapa
sebenarnya Raden Ayu Siti Khotijah?. Dalam hal ini terdapat dua versi cerita
yang berkembang di tengah masyarakat.
Versi 1
Sejarah,
cerita, mitos ataupun legenda versi pertama ini bersumber dari buku “Sejarah
Wujudnya Makam Sab’atul Auliya’, wali pitu di Bali”, berdasarkan keterangan
dari KHM Ishak, tetuta agama Islam di Kampung Islam Kepaon Denpasar yang
memiliki hubungan dekat dengan kerabat Puri Pemacutan, sebagai berikut :
Raden Ayu
Siti Khodijah adalah nama beliau setelah berikrar masuk agama Islam. Nama
aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai. Dia adalah putri Raja Pemecutan Cokorda
III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M (Menurut
sumber lain, memerintah tahun 1697 dan wafat tahun 1813 M.).
Raden
Ayu Siti Khotijah dinikahkan dengan
Pangeran Sosrodiningrat (alias Raden Ngabei Sosrodiningrat) yang telah berjasa
membantu kerajaan Badung (Pamecutan) berperang melawan kerajaan Mengwi pada
tahun 1891, sampai membawa kemenangan.
Pada waktu
Raja Pamecutan tengah berperang, salah seorang prajuritnya menahan seorang
pengelana di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Orang yang
ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu
dihadapkan kepada Raja Pamecutan untuk diusut. Akhirnya diketahui, ternyata dia
adalah Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati dari Mataram yang sedang
berlayar menuju Ampenan (pulau Lombok). Namun perahu yang ditumpanginya bersama
11 orang pengiring dihantam badai yang cukup dahsyat sampai kapalnya pecah dan tenggelam.
Pangeran Sosrodiningrat berhasil lolos dari kematian dan terdampar di pantai
selatan Desa Tuban (kecamatan Kuta, kabupaten Badung), sementara 11 orang
pengiringnya tidak diketahui nasibnya.
Setelah
mengetahui identitasnya sebagai seorang senopati Mataram, Raja Pamecutan
meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja
Pamecutan berjanji kepadanya, apabila perang telah usai dan meraih kemenangan,
maka ia akan dinikahkan dengan putrinya.
Pangeran
bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang sudah ada di medan perang,
tanpa memikirkan janji raja. Dia malah berpikir apakah mungkin dapat menikah
dengan seorang putri yang beragama Hindu, sedangkan dirinya beragama Islam.
Setelah perang selesai dan dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan, maka
Raja memenuhi janjinya dan Pangeran Sosrodiningrat benar-benar dinikahkan
dengan putrinya, Ratu Ayu Anak Agung Rai. Setelah dipersunting oleh Pangeran,
Raden Ayu kemudian memeluk agama Islam, namanya diganti menjadi Raden Ayu Siti
Khotijah. Dia bersungguh-sungguh menekuni, mempelajari dan melaksanakan ajaran
Islam secara baik.
Setelah berlangsung beberapa tahun, musibah
datang menimpa Raden Ayu. Pada suatu malam, seperti biasanya dia mengerjakan
shalat tahajjud dengan mengenakan mukena / rukuh berwarna putih didalam
kamarnya yang gelap di lingkungan komplek keputren Pura Pemecutan. Pintu
kamarnya yang biasanya selalu tertutup, saat itu dalam posisi terbuka karena
dia lupa tidak menguncinya, sehingga punggawa kerajaan yang sedang berjaga-jaga
ketika itu secara tidak sengaja melihat gerakan tangan yang sedang diangkat
keatas untuk takbirotul ihrom sambil membaca “Allohu Akbar”, yang menurut
pendengaran punggawa tersebut berbunyi “makeber”,yang dalam bahasa Bali berarti
“terbang”. Seluruh gerak-gerik sholat Raden Ayu tersebut terus diperhatikan
oleh punggawa dan dikiranya sebagai pekerjaan leak (orang jadi-jadian yang
berbuat jahat). Karena menurut keparcayaan masyarakat Bali, diantara ciri-ciri
leak adalah berpakaian putih-putih dan anggota tubuh seperti tangan, kepala dan
kaki tertutup rapat, sedangkan gerakan sujud, duduk dan jongkok
(rukuk)seolah-olah persiapan leak untuk terbang.
Sang
punggawa langsung saja melaporkan kepada Raja, bahwa di kamar Keputren ada leak
yang sedang beraksi dan akan terbang. Raja sangat marah setelah mendapatkan
laporan tersebut dan tanpa pikir panjang lalu memerintahkan beberapa punggawa
lainnya agar segera mendatangi kamar
tersebut dan membunuh apa yang mereka sangka sebagai leak itu.
Para
punggawa secara cepat melaksanakan perintah sang Raja. Mereka mendatangi kamar
Raden Ayu yang masih dalam keadaan terbuka. Ketika itu Raden Ayu sedang sujud.
Tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi, para punggawa menyerbu kedalam kamar
dengan senjata terhunus dan langsung menancapkan tombaknya tepat ke punggung
Raden Ayu, dan kontan saja darah segar muncrat ke atas disertai suara jeritan
“Alloohu Akbar” tiga kali. Bersamaan dengan itu, terjadilah keanehan yang luar
biasa, bahwa darah segar yang keluar dari punggung Raden Ayu memancarkan cahaya
terang kebiru-biruan ke atas, menembus dinding-dinding atap kamar menyebar ke
langit dan menerangi Pura Pamecutan. Bahkan seluruh kota Denpasar pun terlihat
terang-benderang seperti keadaan di siang hari. Seluruh penduduk kota Denpasar
sangat terkejut dengan kejadian tersebut, terutama keluarga dan Raja Pamecutan
sendiri. Selang beberapa saat, para punggawa melaporkan kepada Raja, bahwa yang
dibunuhnya ternyata bukan leak, melainkan Raden Ayu Siti Khotijah.
Itulah
peristiwa tragis yang terjadi di Pura Pamecutan akibat salah terka dari para
punggawa, serta kurangnya kewaspadaan dan tanpa penyelidikan secara cermat oleh
baginda Raja, sehingga Raden Ayu menjadi korban pembunuhan atas perintah
baginda Raja sendiri.
Jenazah
Raden Ayu yang masih dalam keadaan tertelungkup-sujud dengan tombak yang
terhunjam di punggungnya sulit dicabut dan dibujurkan. Keluarga kerajaan
berusaha ingin menolong untuk mencabut tombak dari punggung Raden Ayu tidak
dapat berbuat apa-apa. Baginda Raja kemudian meminta bantuan umat Islam yang
ada di sana (kampung Kepaon) agar merawat jenazah putrinya menurut tata-cara
Islam. Umat Islam segera membantu merawat jenazahnya, mulai dari memandikan,
mengafani, mensholati, sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Namun
ada satu hal yang tak dapat diatasi, yaitu batang tombak yang menghujam di
punggungnya tidak dapat dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak, jenazah
dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang
tombak dari kayu tersebut bersemi dan hidup sampai sekarang, menjadi sebuah
pohon besar yang berdiri tegak di atas makamnya.
Versi 2
Sejarah,
cerita, mitos ataupun legenda menurut versi yang kedua bersumber dari buku
“Sejarah Keramat Agung Pamecutan, Makam Raden Ayu Pamecutan alias Raden Ayu
Siti Khotijah”, yang ditulis oleh juru kunci makam keramat Pamecutan, Jro
Mangku I Made Puger, sebagai berikut:
Gusti Ayu
Made Rai merupakan salah satu putri kesayangan Raja Pamecutan, I Gusti Ngurah
Gede Pamecutan, yang sangat cantik. Ketika menginjak dewasa, Sang putri
bertahun-tahun tertimpa penyakit liver (penyakit kuning).. Berbagai upaya sudah
dilakukan, namun tidak sembuh. Sang Raja memutuskan untuk melakukan “tapa
semedi” di Pamerajan puri, yaitu suatu tempat suci didalam istana. Dari sana
beliau mendapatkan pawisik 16) agar Sang Raja mengadakan sayembara (sabda
pandita ratu), yang isinya, bahwa Barang siapa yang berhasil mengobati dan
menyembuhkan penyakit putrinya, kalau dia perempuan maka akan diangkat menjadi
anak angkatnya. Kalau dia lelaki dan memang jodohnya maka akan dinikahkan
dengan putrinya itu.
Sayembara
telah tersebar ke seluruh jagat dan sampai ke pulau Jawa. Salah seorang syekh
dari Yogyakarta mendengar hal itu. Segeralah ia memanggil dan memerintahkan
Pangeran Cakraningrat IV, salah satu murid kesayangannya yang sangat tampan
dari Bangkalan Madura, agar bersedia mengikuti sayembara di Puri Pamecutan
Bali. Pangeran Cakraningrat IV mentaati perintah gurunya itu, maka berangkatlah
ke Bali dengan diiringi oleh 40 orang pengiring. Ia kemudian menemui Raja
Pamecutan untuk ikut bersaing dalam sayembara yang juga diikuti oleh banyak
pangeran atau putra raja dari berbagai kerajaan di Nusantara, terutama dari
Bali sendiri.
Ringkas
cerita, ketika sampai pada gilirannya, sang Raja memanggil putri Gusti Ayu Made
Rai dan diperkenalkan kepada Pangeran Cakraningrat IV. Perkenalan dan pandangan
pertama putri kepada Pangeran ini membuat hati kedunya bergetar, suatu pertanda
ada perjodohan. Pengobatan pun dimulai dan dalam waktu singkat penyakit putri
dapat disembuhkan secara total.
Sang Raja
kemudian memanggil Pangeran ke istana untuk mengucapkan terima kasih dan
menanyakan tanggapannya terhadap putrinya. Dijawab oleh Pangeran bahwa sejak
perkenalan pertama, dia sudah terpesona dan mencintai sang putri, demikian pula
sebaliknya tanggapan sang putri. Sang Raja lalu menikahkan Pangeran
Cokroningrat IV dengan putrinya di Puri Pamecutan yang disaksikan oleh 40
pengiring Pengeran dan segenap keluarga Raja. Selang beberapa hari setelah
pernikahan tersebut, Pangeran Cokroningrat IV berpamitan dan mohon diri untuk
pulang dengan membawa serta isterinya ke Bangkalan Madura.
Sesampainya
di Bangkalan Madura, diadakan peresmian pernikahan kedua bangsawan tersebut
menurut tradisi Islam. Tak lama berselang, Ratu Ayu Made Rai menyatakan diri
masuk Islam dan namanya pun diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah.
Setelah
keislamannya itu, Raden Ayu sebagai seorang muslimah yang taat, selalu berusaha
menjalankan ajaran agama Islam secara tekun, terutama sholat lima waktu dan
tahajud, puasa dam ibadah lainnya, serta selalu berusaha meningkatkan kualitas
agamanya dengan aktif mengikuti pengajian-pengajian. Sekalipun sebagai isteri
keempat, kehidupan Raden Ayu bersama ketiga isteri Pangeran Cokroningrat IV
lainnya terbilang rukun, tentram dan damai.
Raden Ayu
Siti Khotijah sudah beberapa tahun tinggal di dekat suaminya. Ia rindu kepada
ayah, bunda dan keluarganya di puri Pamecutan. Pangeran Cokroningrat IV sangat
mengerti dan memaklumi keinginan isterinya itu. Mengingat kesibukannya yang
begitu padat, Pangeran tidak sempat mengantarkannya sendiri ke puri Pemecutan,
akan tetapi menugaskan kepada 40 orang yang terdiri dari pengawal dan danyang
untuk mengiringi isterinya. Pangeran hanya memberinya bekal berupa guci kuna,
keris dan benda pusaka “tusuk konde” yang diselipkan di rambut isteri.
Sesampainya
di puri Pemecutan, Raden Ayu beserta rombongan disambut keluarganya dengan suka
cita. Raden Ayu tidur di kamar komplek keputren puri Pemecutan, sedangkan
rombongannya menginap di Taman Kerajaan di Monang-Maning Denpasar. Ketika tiba
waktu sholat maghrib, dia melaksanakan sholat maghrib di Merajan Puri (tempat
suci didalam istana).
Tahlilan di
makam Siti Khotijah
Raden Ayu
melaksanakan sholat sambil menghadap ke kiblat (barat) dengan mengenakan mukena
(rukuh) berwarna putih. Ketika itu Patih kerajaan secara tidak sengaja melihat
gerak-gerik sholatnya seperti berdiri, rukuk, sujud, dan duduk yang menurutnya
sangat aneh, karena umat Hindu di Bali melakukan sembahyang sambil menghadap ke
arah timur (bukan ke barat). Patih kerajaan memang hampir tidak pernah
menyaksikan orang-orang Islam sembahyang menghadap ke barat, sehingga wajar
bila ia menganggapnya aneh. Dengan cara sholat seperti itu, Raden Ayu dikira
sedang “ngeleak” (mempraktekkan ilmu hitam leak). Ki Patih kemudian
memberitahukan hal itu kepada Raja bahwa putrinya sedang mempraktekkan ilmu
hitam leak, dan seketika itu Raja sangat murka. Tanpa mengkonfirmasikan hal itu
kepada putrinya, sang Raja langsung memerintahkan ki Patih agar membunuh
putrinya tersebut.
Ki Patih
mengajak Raden Ayu yang diiringi oleh 40 pengawal dan danyangnya menuju ke
Setra (pekuburan) di Badung. Sesampainya di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu
menegaskan dan berpesan kepada Ki Patih, sebagai berikut:
“Paman
Patih, aku sudah punya firasat bahwa aku dibawa ke sini akan dibunuh. Oleh
karena ini perintah ayahku selaku Raja, silahkan paman Patih laksanakan. Perlu
paman Patih ketahui, di “Pemerajan” tadi aku sedang menuju Alloh, melaksanakan
sembahyang maghrib sesuai tata cara agama Islam yang aku anut. Tidak ada niat
jahat, apalagi ngeleak. Kalau paman Patih ingin membunuh aku, janganlah
menggunakan senjata tajam. Percuma, tidak akan mempan. Akan tetapi gunakan
cucuk kondeku ini yang digulung dengan daun sirih dan diikat dengan benang tridatu
(benang tiga warna : putih, hitam dan merah). Selanjutnya, tusukkan cucuk konde
tersebut ke dadaku. Bila aku sudah mati, maka akan keluar asap dari badanku.
Jika asap tersebut berbau busuk, kuburlah mayatku di sembarang tempat. Tetapi
jika berbau wangi, tolong buatkan aku tempat suci yang disebut keramat
(kuburan)”.
Ki Patih
melaksanakan apa yang telah disarankan oleh Raden Ayu. Seketika itu, Raden Ayu
roboh dan wafat. Dari badannya keluar bau sangat wangi seperti bau kemenyan
madu atau menyan arab yang menyebar ke seluruh Setra (pekuburan) yang luasnya 9
Ha. Pengiring Raden Ayu asal Bangkalan, Ki Patih dan pengawal kerajaan yang
menyaksikan kejadian tersebut ada yang pingsan dan menangis histeris. Di malam
itu juga jenazah Raden Ayu dimakamkan di situ. Selanjutnya, Ki Patih dan
pengiring Raden Ayu menemui Raja dan menyampaikan pesan-pesan yang diucapkan
oleh putrinya sebelum wafat. Sang Raja sangat terkejut dan menyesal terhadap
tindakan dan perintahnya yang gegabah, lalu memerintahkan agar dibuatkan “keramat”
buat putrinya dan Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala Istana
Pemecutan diangkat sebagai perawat atau juru kunci makam secara turun temurun,
sampai keturunannya yang sekarang.
TARU RAMBUT
diatas makam Siti Khotijah. Sehari setelah pemakaman, tumbuh sebuah pohon tepat
di tengah-tengah kuburan Raden Ayu. Oleh juru kunci, pohon setinggi 50 cm itu
dicabutnya. Malamnya tumbuh lagi dan besoknya dicabut lagi. Begitu seterusnya
sampai terulang tiga kali. Juru kunci lantas bersemedi atau tirakat di depan
makam Raden Ayu dan mendapatkan bisikan ghaib agar pohon tersebut dipelihara
dan terus dibiarkan hidup, karena pohon itu diyakini tumbuh dari rambut Raden
Ayu, sehingga sampai saat ini pohon tersebut terkenal dengan sebutan “Pohon
Rambut”, bahasa Balinya “Taru Rambut”.
0 komentar: