Sebelum Dinasti Usmaniyah
(Ottoman) di Turki berdiri pada 699-1341 H atau bertepatan dengan tahun
1385-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur tepatnya di
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) saat ini telah muncul sebuah kerajaan
Islam bernama Samudera Pasai.
Jika Ottoman mulai
menancapkan kekuasaannya pada tahun 1385 M, Samudera Pasai sudah mengibarkan
bendera kekuasaannya pada 1267 M.
Keberadaan Kesultanan
Samudera Pasai ini diungkapkan oleh petualang Muslim asal Maroko, Abu Abdullah
Ibnu Batuthah (1304-1368 M), dalam kitabnya yang berjudul “Rihlah ila
I-Masyriq” (Pengembaraan ke Timur).
“Sebuah negeri yang hijau
dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tulis Ibnu Batuthah ketika
menggambarkan kekagumannya terhadap keindahan dan kemajuan Kerajaan Samudera
Pasai yang sempat disinggahinya selama 15 hari pada 1345 M.
Sementara itu, dalam catatan
perjalanan Ibnu Batuthah lainnya yang berjudul “Tuhfat al-Nazha”, ia
menuturkan, pada masa itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi
Islam di kawasan Asia Tenggara.
Jauh sebelum Sang Pengembara
Muslim itu menginjakkan kakinya di kerajaan Muslim pertama di nusantara itu,
seorang penjelajah asal Venezia (Italia), yang bernama Marco Polo, telah
mengunjungi Samudera Pasai pada 1292 M.
Marco Polo bertandang ke
Samudera Pasai saat menjadi pemimpin rombongan yang membawa ratu dari Cina ke
Persia. Bersama dua ribu orang pengikutnya, Marco Polo singgah dan menetap
selama lima bulan di bumi Serambi Makkah itu. Dalam kisah perjalanan berjudul
“Travel of Marco Polo”, pelancong dari Eropa itu juga mengagumi kemajuan yang
dicapai Kesultanan Samudera Pasai.
Kesultanan Samudera Pasai
terletak di pesisir pantai utara Sumatera kurang lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe, Aceh Utara, sekarang ini. Kesultanan ini didirikan oleh Meurah
Silu pada sekitar tahun 1267 M.
Ia adalah keturunan dari
Suku Imam Empat atau Sukee Imuem Peuet sebutan untuk keturunan empat maharaja
(meurah) bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa), yang merupakan
pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh pra-Islam.
Keempat maharaja tersebut
adalah Syahir Po-He-La yang mendirikan Kerajaan Peureulak (Perlak) di Aceh
Timur, Syahir Tanwi yang mendirikan Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan
(Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang mendirikan Kerajaan Sama Indra di Pidie,
dan Syahir Nuwi yang mendirikan Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh
Besar.
{AF}
Malik As-Saleh
Dalam Hikayat Raja-Raja
Pasai, disebutkan asal muasal penamaan Kerajaan Samudera Pasai. Syahdan, suatu
hari, Meurah Silu melihat seekor semut raksasa yang berukuran sebesar kucing.
Meurah yang kala itu belum memeluk Islam menangkap dan memakan semut itu. Dia
lalu menamakan tempat itu Samandra.
Tak semua orang percaya
kisah yang berbau legenda itu. Sebagian orang meyakini kata Samudera berasal
dari bahasa Sansekerta yang berarti laut. Sedangkan, kata Pasai diyakini
berasal dari Parsi: Parsee atau Pase. Pada masa itu, banyak pedagang dan
saudagar Muslim dari Persia-India alias Gujarat yang singgah di wilayah
Nusantara.
Meurah Silu kemudian
memutuskan masuk Islam dan berganti nama menjadi Malik Al-Saleh atau dikenal
dengan sebutan Malik As-Saleh. Menurut legenda masyarakat Aceh, suatu hari
Meurah Silu bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Setelah itu, ia pun
memutuskan masuk Islam.
Malik Al-Saleh mulai menduduki
takhta Kesultanan Samudera Pasai pada 1267 M. Di bawah kepemimpinan Malik
Al-Saleh, Samudera Pasai mulai berkembang. Ia berkuasa selama 29 tahun dan
digantikan oleh Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326 M).
Namun, ada juga yang
menyebutkan, Malik Al-Saleh diangkat menjadi sultan di Kerajaan Samudera Pasai
oleh seorang Laksamana Laut dari Mesir bernama Nazimuddin Al-Kamil setelah
berhasil menaklukkan Pasai.{/AF}
{AF}
Penyebar Islam
Selain dikenal sebagai
pendiri dan raja pertama dari Kesultanan Samudera Pasai, Malik As-Saleh juga
merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah Nusantara dan Asia Tenggara
pada abad ke-13 M.
Karena pengaruh kekuasaan
yang dimiliki Sultan Malik As-Saleh, Islam bisa berkembang luas di wilayah
Nusantara hingga ke negeri-negeri lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Marco Polo, Malik
As-Saleh adalah seorang raja yang kuat dan kaya. Ia menikah dengan putri raja
Perlak dan memiliki dua anak. Ketika berkuasa, Malik As-Saleh menerima
kunjungan Marco Polo.
Pada masa pemerintahan Malik
As-Saleh, Samudera Pasai memiliki kontribusi yang besar dalam pengembangan dan
penyebaran Islam di Tanah Air. Samudera Pasai banyak mengirimkan para ulama
serta mubaligh untuk menyebarkan agama Islam ke Pulau Jawa.
Selain itu, banyak juga
ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai. Salah satunya adalah Syekh
Yusuf—seorang sufi dan ulama penyebar Islam di Afrika Selatan yang berasal dari
Makassar.
Wali Songo merupakan bukti
eratnya hubungan antara Samudera Pasai dan perkembangan Islam di Pulau Jawa.
Konon, Sunan Kalijaga merupakan menantu Maulana Ishak, salah seorang Sultan
Pasai. Selain itu, Sunan Gunung Jati yang menyebarkan Islam di wilayah Cirebon
serta Banten ternyata putra daerah Pasai.
Kesultanan Samudera Pasai
begitu teguh dalam menerapkan agama Islam. Pemerintahannya bersifat teokrasi
(agama) yang berdasarkan ajaran Islam. Tak heran bila kehidupan masyarakatnya
juga begitu kental dengan nuansa agama serta kebudayaan Islam.
Sebagai sebuah kerajaan yang
berpengaruh, Pasai juga menjalin persahabatan dengan penguasa negara lain,
seperti Champa, India, Tiongkok, Majapahit, dan Malaka. Menurut Marco Polo,
Sultan Malik As-Saleh sangat menghormati Kubilai Khan, penguasa Mongol di
Tiongkok.{/AF}
{AF}
Samudera Pasai, Kerajaan
Islam Pertama di Indonesia
Sejarah mencatat Samudera
Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Dalam waktu yang lama, Pasai
dianggap oleh kerajaan Islam lain di Nusantara sebagai pusat Islam.
Dalam Hikayat Raja-Raja
Pasai dan Hikayat Melayu, disebutkan bahwa kemunculan Samudera Pasai sebagai
kerajaan Islam diperkirakan dari awal atau pertengahan abad ke-13 M.
Ini sebagai hasil dari proses
Islamisasi dari daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang
Muslim sejak abad ke-7 M.
Dugaan atas berdirinya
Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M ini didukung oleh data-data hasil
penelitian terhadap beberapa sumber yang dilakukan, terutama oleh
sarjana-sarjana Barat.
Khususnya, para sarjana
Belanda sebelum perang, seperti Christian Snouck Hurgronje, JP Moquette, JL
Moens, J Hushoff Poll, GP Rouffaer, dan HKJ Cowan. Kedua hikayat tersebut dan
para sarjana Barat juga menyebutkan bahwa pendiri Kerajaan Samudera Pasai
adalah Sultan Malik As-Saleh.
Akan tetapi, dua buah naskah
lokal yang ditemukan di Aceh, yakni “Idah Al-Haqq fi Mamlakat Peureula” karya
Abu Ishaq Makarani dan “Tawarikh Raja-Raja Pasai”, mengungkapkan bahwa Kerajaan
Samudera Pasai sudah berdiri pada 433 H/1042 M.
Kerajaan yang dikuasai oleh
Dinasti Meurah Khair ini terus berlangsung sampai tahun 607 H/1210 M.
Pada tahun ini, Baginda Raja
meninggal dunia dan tidak meninggalkan putra. Setelah itu, negeri Samudera
Pasai menjadi rebutan antara pembesar-pembesar istana.
Keadaan politik yang tidak
stabil itu berlangsung kurang lebih 50 tahun. Keadaan baru berubah menjadi
lebih baik setelah naiknya Meurah Silu, yang kemudian bergelar Malik As-Saleh.
Hal ini berbeda dengan
Hikayat Raja-Raja Pasai yang mengatakan bahwa Meurah Silu pada mulanya beragama
Hindu. Ia kemudian masuk Islam melalui Syekh Ismail, seorang utusan Syarif
Makkah dan mendapat gelar Sultan Malik As-Saleh.
Sumber ini menyebutkan
Meurah Silu berasal dari keturunan Raja Islam Perlak. Pendukung analisis ini
berpendapat bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara bukanlah Samudera Pasai,
melainkan Kerajaan Perlak.
Dalam catatan perjalanan
Ibnu Batuthah, disebutkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan
pusat studi agama Islam. Kerajaan itu juga digunakan sebagai tempat berkumpul
ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah
keagamaan dan keduniawian sekaligus.
Kerajaan Samudera Pasai,
menurut Ibnu Batuthah, tetap berlangsung hingga tahun 1524. Pada tahun 1521,
kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga
tahun.
Setelah itu, pada tahun 1524
dan seterusnya, Kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh Kesultanan
Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam
0 komentar: