Makam Beliau terletak di pinggir Pantai Seseh, Mengwi, Tabanan, Bali.
Pangeran Mas Sepuh merupakan gelar. Nama sebenarnya adalah Raden Amangkuningrat, yang terkenal dengan nama Keramat Pantai Seseh. Ia merupakan Putra Raja Mengwi I yang beragama Hindu dan ibunya berasal dari Blambangan (Banyu Wangi Jatim) yang beragama Islam. Sewaktu kecil, beliau sudah berpisah dengan ayahandanya dan diasuh oleh ibundanya di Blambangan. Setelah dewasa, Pangeran Mas Sepuh menanyakan kepada ibunya tentang ayahandanya itu. Setelah Pangeran Mas Sepuh mengetahui jati dirinya, ia memohon izin pada ibunya untuk mencari ayah kandungnya, dengan niat akan mengabdikan diri. Semula, sang ibu keberatan, namun akhirnya diizinkan juga Pangeran Mas Sepuh untuk berangkat ke Bali dengan diiringi oleh beberapa punggawa kerajaan sebagai pengawal dan dibekali sebilah keris pusaka yang berasal dari ayahandanya dari Kerajaan Mengwi
Namun, setelah bertemu dengan ayahnya, terjadilah kesalahpahaman yang di sebabkan kecemburuan dari pihak keluarga kerajaan. Akhirnya Pangeran Mas Sepuh beranjak pulang ke Blambangan untuk memberitahu ibunya tentang peristiwa yang telah terjadi. Namun dalam perjalanan pulang, sesampainya di Pantai Seseh, Pangeran Mas Sepuh diserang sekelompok orang bersenjata yang tak dikenal, sehingga pertempuran tak dapat dihindari lagi. Melihat korban berjatuhan yang tidak sedikit dari kedua belah pihak, keris pusaka milik Pangeran Mas Sepuh dicabut dan diacungkan ke atas, seketika itu ujung keris mengeluarkan sinar dan terjadilah keajaiban, kelompok bersenjata yang menyerang tersebut mendadak lumpuh, bersimpuh diam seribu bahasa. Akhirnya diketahui kalau penyerang itu masih ada hubungan kekeluargaan, hal ini dilihat dari pakaian dan juga dari pandangan bathiniyah Pangeran Mas Sepuh. Akhirnya keris pusaka dimasukkan kembali dalam karangkanya, dan kelompok penyerang tersebut dapat bergerak dan kemudian memberi hormat kepada Pangeran Mas Sepuh.
Salah satu karomah yang diberikan Allah kepada Pangeran Mas Sepuh ialah kemampuan berjalan diatas permukaan air. Kesaktian yang luar biasa yang dimiliki Paneran Mas Sepuh ternyata memunculkan rasa kecemburuan diantara putra-putra Raja Mengwi. Bahkan suatu ketika saat Pangeran Mas Sepuh diperintahkan untuk menuju Taman Ayun (tempat peristirahatan keluarga Raja) di Mengwi. Taman Ayun dikelilingi danau mengitari bangunan lengkap dengan taman indahnya. Tanpa diduga, saat Pangeran Mas Sepuh berjalan diatas air danau dan bersila diatas bunga teratai, terlihat oleh prajurit kerajaan. Tentu apa yang disaksikan prajurit kerajaan tersebut sungguh menggegerkan seluruh Istana. Selain karomah tersebut, Panggran Mas Sepuh juga dikenal mampu mengobati berbagai macam penyakit. Bahkan, tak sedikit ‘dukun’ yang mencari ilmu untuk belajar cara pengobatan. Namun, yang paling mencengangkan serta sempat disaksikan pasukan kerajaan Mengwi ialah saat Pangeran Mas Sepuh dalam perjalanan menuju Bali dari Kerajaan Blambangan (Jawa) terlihat hanya berjalan diatas air laut. Pangeran Mas Sepuh tampak tenang berjalan diantara deburan serta gulungan ombak.
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan
sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat,
pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag,
Banyuwangi
Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami
jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama
Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at
sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at
meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen
Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal
Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik
kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada
para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di
Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa
bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang
ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai
Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur
seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso
Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari
pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari
silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan
pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari
Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit
Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman
bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan
sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras
mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat
yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar
membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun),
Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung,
Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim
Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami
ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan
Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun
1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian
dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia
ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu
kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan
studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi
yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at
sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes
Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia
juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini
juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya
Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga
ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan
dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya,
dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit
Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk
kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada
masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya
menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan
hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan
dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa
reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara
memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan
tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis
keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah
perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia
seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang
sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi
menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit
Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit,
terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari
orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan
musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar
kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan
malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at
tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan
Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara
dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai
juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka
meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari
gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan
terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia
Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama
7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon).
Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati,
Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan
Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan
penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung
dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin
Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada
tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui
perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke
waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari
sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan
sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan
masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain
ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien,
apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin
parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi
sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan
pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal
gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu
dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya.
Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah
barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup
sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para
santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh
kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia
tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai
merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya.
Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun
hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan
memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at
akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di
Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia
memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis.
Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah
satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada
Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak
kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi
pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak
dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan
harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga
kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu
sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil
dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di
salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at
bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya
mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke
tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at
juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi
pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai
salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab
1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya
dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan
Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati
oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga,
sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
Nama KH Abdul Manan adalah nama yang tidak asing lagi bagi
kebanyakan penduduk di wilayah kab Banyuwangi-Jawa Timur, khususnya desa
Sumberas Muncar Banyuwangi. Kiai ini dikenal sebagai kiai ”jadug” alias jago
gelut melawan berandalan dan perampok pada waktu itu.
KH Abdul Manan merupakan putra kedua dari KH Moh Ilyas yang
berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan
(Kediri). Lahir di desa Grampang, Kab Kediri pada tahun 1870. Saat berusia 1
tahun, ia dibawa KH Moh Ilyas pindah dari Grempol ke desa Ngadirejo Kecamatan
Kandangan, Kab Kediri.
KH Moh Ilyas di Ngadirejo kemudian membuka pondok pesantren
ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, KH Moh Ilyas, Abdul
Manan juga “nyantri” ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia
sekitar 12 tahun ia masuk pondok pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal
Pondok Pesantren Ringin Agung yang diasuh oleh Mbah KH Nawawi. Sekalipun
usianya masih kecil, ia mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga
saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai “santri pemberani”. Dimana
hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan Mbah Kyai Nawawi, namun
ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.
Lepas dari pondok pesantren Ringin Agung, ia kemudian
melanjutkan ke pondok pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok
pesantren neneknya sendiri . Di pondok gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah
dan ia dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan
kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut.
Bahkan ia pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia
melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat
dibrantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang
pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Grompol.
Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di pondok Gerompol,
ia kemudian melalaang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam
ilmu-ilmu agama Islam. Dikalangan santri biasa disebut sebagai “santri kalong”
karena mondoknya hanya sebentar saja. Beberapa pondok pesantren yang pernah
dirambah oleh KH Abdul Manan diantaranya adalah Pondok Pesantren KH Abas di
daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren
Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok
dengan KH Kholil Al Bankalani (Bangkalan, Madura) atau yang biasa disapa dengan
pangilan Mbah Cholil Bangkalan.
Lepas mendapat didikan dari Mbah Cholil ia kemudian
melanjutkan belajar ke Mekkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia yang ada
di Mekah dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun.
Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Manan kembali ke
daerah asalnya yakni desa Jatirejo, Kandangan, Kab Kediri untuk membantu orang
tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri KH Moh
Ilyas.
KH Abdul Manan menikah dengan seorang putri dari dusun
Sumberbiru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun
karena KH Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai)
dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke
Jatirejo , Kandangan (Kediri).
Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah
(semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia
kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh
oleh KH Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat
menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang
beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh KH Abdul Basyar dengan
dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun.
Pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar
ia dikaruniai duabelas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam,
Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun,Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin,
Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.
Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun
wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun (Jalen) dan dari istri
keduanya ia dikaruniai 9 putra-putri yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH
Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH
Toha Muntaha.
Tahun 1929 Ia pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan
pondok pesantren Minhajut Thullab. Sedangkan pondok pesantren Jalen diteruskan
olehh adik iparnya yakni Nyai Mawardi.
Mulai membangun Pondok
Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling
mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari
sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas
isyaroh dari KH Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan
menjadi sentral peantren yang akan ia rintis.
Awalnya, ia berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri
dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan , Rogojampi (Banyuwangi) yang
juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pondok pesantren yakni H
Sanusi. Pemilik tanah dan dan rumah di desa Berasan itu (H Sanusi-red) akhirnya
mau menjual rumah dan tanahnya kepada KH Abdul Manan.
Tepat tahun 1932, KH Abdul Manan berserta keluarga dan
diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai
membangun pondok pesantren. Awal berdiri pondok pesantren hanya berupa sebuah
rumah dan musola kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang,
sangat memprihationkan.
Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah,
bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga ia menambah jumlah
lokasi pondok dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus
membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang
permanen.
Masa penjajahan Jepang dan Kolonial
KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang
dan Belanda. Banyak kyai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda
yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan
Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa
itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk.
Nasib nahas memang banyak menimpa Kyai-Kyai besar pada masa penjajahan yang
berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh
Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni
Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap
mengajar di pesantren.
Tepat tahun 1945 ia membangun sebuah gedung yang bisa
menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau
populer dengan jam’iyyah gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren
Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan
sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren
sepereti sorogan, bandongan , khitobah dll.
Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus
pendidikan agama atau madrasah diniyah yang dibimbing oleh KH Suyuthi. Pada
tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah yakni MI Miftahul
Mubtadin. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK
Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al Hikmah.
KH Abdul Manan adalah sosok ulama yang soleh dan zuhud.
Beliau mendidik putra putrinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya ia
pondokan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan
pendidikan anak-anaknya dan para santri bahkan juga masyarakat di mana bila
sudah jam 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur). Beliau adalah
seorang yang aktif dan disiplin dengan apapun tugas. Memang awalnya beliau mendidik
dan memberi pengajian kepada putra-putranya, santri dan masyarakat sendirian,
belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri
sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian
kepada santri-santri di bawahnya.
Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di pondok
Minhajut Tulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi
dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di ndalemnya Mbah Kyai dan
ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan
berupa sawah atau kebun dari tanah KH Abdul Manan.
Keseharian beliau adalah seorang Kiai dan seorang petani.
Sedang dibidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga
dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya,
beliau cukup dirumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka
datang ke rumah Mbah KH Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup
dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Rotan bertuah
Setelah Indonesia merdeka,m justru ada peristiwa yang lebih
kejam lagi yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia
(Gerakan 30 S PKI). Kekejaman dan komunis lebih kejam lagi, banyak kyai dan
santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan
penduduk tidak tinggal diam. KH Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk
mencari beberapa batang rotan (Kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk
melawan PKI.
Rotan-rotan itu oleh KH Abdul Manan setelah didoakan
dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan
orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat
rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan
memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di asma’ oleh KH Abdul Manan,
banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan
oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dll.
Kelebihan dan kejadugan KH Abdul Manan bukanlah sesuatu yang
didapat secara instan, tetapi buah dari riyadhah sejak ia berusia mua. Saat
masih menimba ilmu di pondok pesantren ia sering melakukan puasa mutih,
ngrowot. Saat belajar di Mekah selama 9 tahun ia juga berpuasa secara terus
menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa yakni hari Idul
Fitri dan hari Idhul Adha (2 hari Idul Adha). Bahkan tak jarang ia hanya
berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.
Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai
menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan
kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak –anak dan
santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat
banyak. KH Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh 15 Syawal
1399 H (1979 M) dan di makamkan masih di sekitar pondok pesantren Minhajut
Thulab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur).
Pegunungan di pedalaman Kabupaten Trenggalek menjadi tempat
lahir Kiai Thohir. Nyaris tak ada yang spesial dari tempat lahirnya itu. Latar
belakang keluarganya pun biasa-biasa saja. Bapaknya, Mbah Munshorif, hanyalah
seorang petani biasa. Namun, hasratnya untuk menuntut ilmu agama lah yang
mengantarkannya, kelak, menjadi orang besar.
Semangat Thohir muda dalam menuntut ilmu agama
mengantarkannya ke penghujung timur Pulau Jawa. Ia nyantri di Pesantren Darus
Sholah, Tegalpare, Muncar yang diasuh oleh KH. Masrur. Kecerdasan, akhlaq dan
sikapnya membuat Kiai Masrur kepincut dengan pemuda yang faqih tersebut. Thohir
muda diambil menantu dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyai Tazkiyah.
Pernikahan yang berlangsung pada tahun 1956 itu, nantinya melahirkan 14 orang
putra putri.
Meski telah menikah, gairah menuntut ilmu Kiai Thohir tak
pernah surut. Atas izin istri dan mertuanya, ia kembali nyantri di Pesantren
Tebuireng, Jombang selama empat tahun.
Sekitar tahun 1960-an, Kiai Masrur mangkat. Kepemimpinan Pesantren
Darus Sholah pun dilanjutkan oleh Kiai Thohir. Meski berkiprah sebagai pengasuh
pesantren, namun tak menghalangi kiprahnya di bidang yang lain.
Di Nahdlatul Ulama Banyuwangi, Kiai Thohir telah berkiprah
sejak muda. Ia merintisnya sebagai pengurus GP Ansor, menjadi Pengurus Ranting
NU Tegalpare, Pengurus LP Maarif, Katib Syuriah hingga pada tahun 1980 beliau
terpilih sebagai Rois Syuriah PCNU Banyuwangi. Bahkan, jabatan Rois Syuriah
tersebut diemban hingga akhir hayatnya di tahun 1991.
Tak hanya di NU, Kiai Thohir juga aktif di dunia politik. Ia
tercatat empat periode menjadi anggota legeslatif mewakili PPP di DPRD
Banyuwangi. Bahkan, pernah menjadi wakil ketua DPRD di periode terakhirnya di
legeslatif. Namun, pasca Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984 dan
memutuskan untuk kembali ke Khittoh 1926, Kiai Thohir mengundurkan diri dari
politik praktis.
“Ia tegas memilih NU, ketimbang jadi politisi.” kenang putra
ketiganya, Abdul Haris, kepada Tim Peneliti Sejarah NU Banyuwangi.
Jabatan sebagai ketua MUI Banyuwangi juga pernah Kiai
Thohir. Ia menjadi ketua pertama hingga akhir hayatnya.
Ada banyak karya yang telah ditorehkan oleh Kiai Thohir.
Selain sukses menjaga eksistensi NU Banyuwangi dibawah tekananan Orde Baru,
Kiai Thohir juga menginisiasi berdirinya Madrasah Aliyah yang sekarang dikenal
dengan MAN banyuwangi. Selain itu, beliau bersama Kiai Zarkasyi Djunaidi juga
merintis kampus yang kini berdiri megah, Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng.
Dengan aktivitas kemasyarakatan, politik dan mengasuh
pesantren, tak membuat Kiai Thohir menelantarkan kitab-kitabnya. Ia begitu
rajin menelaah kitab-kitab fiqih. Dalam berbagai forum bahtsul masail, beliau
aktif. Di MMPP (Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren) yang diadakan tiap empat
bulan, Kiai Thohir tercatat sebagai perumus dalam forum bahtsul masail yang
diselenggarakan di majelis tersebut.
Kehebatan Kiai Thohir dalam menyeimbangkan antara aktivitas
kemasyarakatan yang padat dan kegandrungannya menelaah kitab, teman sejawatnya,
KH. Mukhtar Syafaat menjulukinya sebagai kiai yang “pikirane loro”, kiai yang
memiliki pemikiran ganda: kemasyarakatan dan keilmuwan.
Karomah Mbah Wali Hasan bin KH. Abdul Mun'im Buntet
Pesantren
Pada Zaman revolusi fisik, di Buntet Pesantren ada seorang
Kyai Sepuh bernama KH.Abdul Mun'im. Beliau adalah adik KH. Abdul Jamil dan
mertua KH.Abbas. Di masa muda Abdul Mun'im kecil melanglang buana menuntut ilmu
diantaranya di Bangkalan Madura di bawah asuhan Syaikhuna Kholil. Sehingga
beliau menjadi ulama besar yang kharismatik dan sempat menggantikan posisi
kakaknya menjadi pengasuh Pondok Buntet Pesantren sebelum akhirnya diserahkan
kepada keponakannya yang notabene adalah menantunya sendiri yaitu : KH.Abbas bin
KH.Abdul Jamil. Akhirnya beliau menjadi kyai sepuh dan meninggal dunia ketika
beliau sedang melaksanakan Sholat dalam keadaan bersujud kepada Allah swt.
Kyai Abdul Mun'im meninggalkan keturunan para kyai , ulama
dan nyai-nyai yang shalihah. Diantaranya adalah MBAH HASAN. Beliau semasa kecil
dipanggil dengan nama Mas'ud, namun sepulang dari Mukim di tanah suci Mekkah di
kenal dengan nama Mbah Hasan. Selama Puluhan tahun beliau menimba ilmu di tanah
suci dan praktis tidak bertemu keluarga, pada akhirnya beliau pulang ke tanah
air untuk melepaskan rindu yang terpendam bertahun tahun. Namun setelah pulang
ke Buntet, beliau lebih memilih tinggal di luar Buntet yang mungkin dirasakan
oleh beliau telah banyak kyai dan ulama diBuntet pesantren.
Kemudian Mbah Hasan memilih daerah Ciledug, Cirebon (+25 km
dari Buntet Pesantren) untuk menetap dan berda'wah. Di Ciledug, beliau
berda'wah dengan santun dan sopan dengan menggunakan AKHLAQULKARIMAH, sehingga
masyarakat menyambut da'wahnya dengan sukacita. Beliau berda'wah dengan halnya
yang baik (da'wah bilhal) dan beliau beternak puluhan ekor sapi. Masyarakat
Ciledug pada sa'at itu tidak habis fikir,mengapa sapi-sapi mbah Hasan tidak
digembalakan. Bahkan dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri. Namun anehnya
sapi-sapi mbah Hasan cukup beretika dan beradab, dikarenakan tidak pernah
memakan dan merusak tanaman masyarakat, sehingga masyarakat berterima kasih
kegirangan bila melihat sapi sapi Mbah Hasan yang hanya membersihkan rumput
rumput yang mengganggu tanaman. Beberapa tahun kemudian Mbah Hasan pergi entah
kemana, namun sebelum pergi beliau sempat membagi-bagikan seluruh sapi-sapinya
kepada masyarakat.
Tahun demi tahun berlalu, akhirnya mbah Hasan yang sebaya
dengan sepupunya KH.Abbas bin Ky.Abdul Jamil (wafat th 1947 di usia 60 tahunan)
dengan mengejutkan datang di Buntet pesantren. Beberapa orang kyai sempat cemas
dengan kedatangan beliau, sebab kedatangannya adalah pertanda akan ada mushibah
(kematian kyai besar atau serangan belanda) diBuntet. Meskipun begitu sanak
famili dan masyarakat saling berebut cium tangan barokah mbah Hasan. Mbah Hasan
mengunjungi beberapa kyai dan kerabat. Diantaranya beliau berkunjung ke KH.Anas
bin Kyai Abd Jamil (kakak sepupunya). Kyai Anas menyambut gembira dengan
kedatangan mbah Hasan yang sdh lama tidak ada khabar beritanya, hingga Kyai
Anas mengumpulkan seluruh anggota keluarga untuk menyambut kedatangannya.
Mbah Hasan, menurut penuturan para kyai Buntet adalah
seorang Kyai yang Shomut(pendiam) beliau tidak berkata apapun kecuali 2 kata
saja: enggih dan boten (ia dan tidak) meskipun begitu, mulutnya selalu mengulum
senyuman yang menyejukkan hati. Mbah Hasan bertemu dengan kyai Anas sepupunya
yang menjadi Muqaddam (guru besar) Thariqah Tijaniyah dan org yang pertama kali
membawa Thariqah Tijaniyah di Indonesia, sebuah pertemuan yang mengharukan dan
merapatkan 'alaqah ruhiyah dan jasadiyah diantara dua orang wali tsb. Pertemuan
terakhir di dunia. Saat itu kyai Anas meminta oleh2 kenang-kenangan dari mbah
Hasan, dia berkata "kang Hasan, mana oleh-olehnya dari Banyuwangi ?, namun
mbah Hasan tidak menjawab sepatah katapun, hanya senyuman sang Wali yang
menghiasi wajah mbah Hasan. Ketika Kyai Anas berkali kali memohon, akhirnya
mbah Hasan mengeluarkan bungkusan kain putih dari kantong bajunya seraya
berbisik "jangan dibuka kecuali didepan anak2 dan menantu".
Setelah mbah Hasan pamitan, kyai Anas membuka bungkusan tsb,
ternyata berisi minyak wangi dan kapas. Kyai Anas mengerti isyarat tsb dan
berucap,"anak2ku ketahuilah,bapak sebentar lagi meninggal dunia" kyai
Anas mengucapkannya sambil berderai air mata haru dan bahagia sambil terus
menerus menciumi kapas dan minyak wangi pemberian mbah wali Hasan. Benar saja,
beberapa minggu kemudian kyai Anas wafat dengan Husnul khotimah berpulang ke
rahmatullah dengan damai dan tenang, yang kuburannya sudah tergali seminggu
sebelum beliau wafat. Rodhiyallahu anhu wa askanahu 'alaa farodisiljinan,
amien. Bahkan juga Almarhum almaghfur lah Kyai haji Anas sempat mimpi bertemu
Rosullah saw dan Sayidah Fathimah Azzahro seminggu sebelum wafat, dalam mimpi
itu Kyai Anas mencium tangan mulia Baginda Rosul saw dan tangan Sayyidah
Fathimah Azzahro ra. Anehnya siti fathimah memberi isyarat dengan 7 buah jari
tangannya. Bangun dari mimpi, Kyai Anas terperanjat tiba2 tangan beliau harum
wangi semerbak hingga hari ke tujuh, ribuan santri dan kerabat pun
terheran-heran dengan bau wangi yang khas dan beraroma lain dari minyak wangi
pada umumnya. SUBHAANALLOH...
Disamping Kyai Anas dan lainnya Mbah Hasan mengunjungi
adiknya yang bernama KH. Moh Imam. Menurut para kyai Buntet, Mbah Hasan bertamu
dan bershilaturrahmi berjam-jam, namun ajaibnya kedua orang kyai tersebut tidak
mengeluarkan sepatah kata pun. Adiknya Kh. Imam adalah seorang kyai yang ahli
bermacam macam ilmu terutama ahli dibidang ilmu falak, saking ahlinya sampai
beliau bisa menghitung kapan sebuah daun akan jatuh dengan disaksikan puluhan
orang. Beliau berdua duduk asyik medang dan njabur, namun tanpa berkata
sedikitpun, sehingga isteri kyai Imam Ny. Maryam (puteri kyai Abbaas) menegur
Suaminya,"mengapa kakang diam saja? Diajak ngobrol apa gimana", kyai
Imam menjawab: "itu semua gak perlu, habis mau tanya apa..? wong sudah
jelas kok, sehat apa tidak, jelas sehat, kapan datangnya ? Kita semua sudah
tahu, dari sana jam berapa? Sudah tahu juga", jawaban sang suami membuat
istri terdiam dan manggut manggut. Beberapa waktu kemudian mbah Hasan menghilan
entah kemana...? beliau melanglang buana namun hanya Allah yg tahu.
MBAH HASAN DI BANYUWANGI
Menjelang beliau wafat, beliau berwashiyat kepada murid
satu-satunya yg merangkap sebagai khodim yaitu kyai Khozin yg berasal dari
Garut, bahwa dia diperintahkan untuk menghubungi adiknya di Buntet Pesantren
Cirebon yang bernama kyai Muh. Zen. Kyai Khozin yg bertahun- tahun berkhidmat
kepada beliau terheran- heran, ternyata mbah Hasan berasal dari Buntet
Pesantren. Apalagi masyarakat Banyuwangi yang hingga kini banyak yang belum
tahu asal usul mbah wali Hasan.
DA'WAH DAN KAROMAH MBAH HASAN
Menurut penuturan masyarakat Sumber kepuh dan sekitarnya,
cara da'wah mbah Hasan terbilang unik, sebab beliau memang tidak seperti ulama
yang lainnya, beliau sangat pendiam bahkan hampir tidak pernah berkata sepatah
kalimat pun. Beliau tiap pagi hari selalu keliling kampung bersilaturrahmi
dengan masyarakat, mengunjungi rumah rumah yang empunya belum mau masuk islam
atau berprofesi sebagai bajingan, perampok, penjahat dan semacamnya, maklumlah
pada saat itu Banyuwangi masih diliput oleh pemeluk Hindu dan Budha. Namun mbah
Hasan mampir ke rumah rumah mereka disambut dengan hangat.karena mereka tahu
bahwa mbah Hasan seorang yang mempunyai nilai lebih atau mungkin sakti mandraguna,
mbah Hasan hanya duduk sebentar dan melakukan shalat dhuha di rumah seorang
dari mereka, anehnya setiap mbah Hasan mampir ke rumah salah seorang dari
masyarakat pada sore harinya mereka mendatangi mbah Hasan untuk mengucapkan
syahadat atau bertaubat atau belajar melakukan shalat....subhaanallooh, dan
begitulah da'wah mbah Hasan setiapharinya
Kabupaten Banyuwangim, sebuah kabupaten yang terletak paling
ujung timur dari propinsi Jawa Timur selain terkenal sebagai kota santri juga
di kabupaten ini terdapat seorang auliya’ yang setiap tahun haulnya diperingati
dengan besar-besaran setiap hari ahad pagi minggu pertama bulan Muharam.
Waliyullah itu adalah Habib Hadi bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Soleh
Al-Hadar. Ia Lahir pada tahun 1908 M (1325H) di Banyuwangi. Habib Hadi dari
kecil telah menunjukan akhak yang terpuji. Dari kanak-kanak ia telah menunjukan
sikap-sikap yang baik. Dengan teman sepermainan tidak pernah mau mengganggu dan
kalau pun diganggu, ia tidak pernah melawan.
Pada umur sembilan tahun, ibunya yang bernama Syarifah Syifa
binti Mustafa Assegaff meninggal. Ia kemudian oleh ayahnya Habib Abdullah bin
Umar Al-Haddar dibawa ke Gathan, Hadramaut. Selama di negeri para auliya itu,
Habib Hadi belajar dengan ulama-ulama setempat. Hari- hari diisinya dengan
taklim dan mengaji.
Saat bulan Ramadhan tiba, masyarakat muslim Hadramaut
menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah dengan waktu yang berbeda-beda, mulai
dari lepas shalat isya sampai jelang waktu sahur. Habib Hadi tak ketinggalan
ikut shalat tarawih berjamaah dari masjid yang satu ke masjid yang lainnya dari
mulai lepas Isya sampai waktu jelang sahur. Kebiasaan ini membuat ayahanda
Habib Hadi, Habib Abdullah bin Umar marah kepadanya.”Kamu ke sini bukan untuk
beribadah. Kamu datang ke sini untuk menuntut ilmu. Jangan satu malam kamu
habiskan untuk shalat tarawih.”
Padahal usianya pada waktu itu, baru 11 tahun, ayahnya
meninggal. Habib Hadi kemudian tinggal bersama seorang adiknya, yakni Habib
Muhammad. Saat itulah ia hidup sangat sederhana di Hadramaut, namun di tengah
kesederhanaan itu, ia selalu mendahulukan adiknya. Kalau ia mendapatkan dua
keping roti dan secangkir kopi tiap sehabis shalat berjamaah, dua keping roti
dan secangkir kopi itu diberikan untuk adiknya dan ia lebih berpuasa. Demikian
kecintaan yang luarbiasa untuk sang adik.
Habib Hadi dari kecil telah menjaga makanan yang dimakan
dari sesuatu yang haram, bahkan yang diragukan (subhat). Pernah suatu ketika
sang adik membawa buah-buahan, ia kemudian bertanya, ”Dari mana kamu dapat
buah-buahan ini?”
Sang adik menjawab,”Saya memungut dari kebun sebelah.”
Mendengar jawaban dari sang adik, Habib Hadi marah kemudian
ia memegang buah yang dibawa sang adik dan berkata, ”Kembalikan ke tempat yang
kamu yang dapat.”
Sang adik pun akhirnya menuruti perintah sang kakak
mengembalikan buah yang jatuh kepada sang pemilik kebun.
Demikianlah sedari kecil, Habib Hadi sangat menjaga makanan
yang masuk ke perutnya. Sehingga ibadah sesuatu
Setelah ayahnya meninggal, Habib Hadi belajar dengan Habib
Muhammad bin Hadi Assegaff di Seiwun. Habib Muhammad bin Hadi Seiwun ini adalah
murid dari Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, sahibul maulid Simthud
Durar. Selama di majelis Habib Muhammad ini, teman Habib Hadi selama belajar di
sana adalah Habib Abdulkadir bin Husein Assegaff (ayahanda Habib taufik,
Pasuruan).
Kalau malam, Habib Hadi bermunajat, berdzikir dan
amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT (qiyamul lail), sedangkan
kalau siang hari ia berpuasa. Wajarlah melihat aktivitas ibadah dari Habib hadi
telah terlihat sejak kecil, membuat sang guru, Habib Muhammad memberikan
kedudukan yang istimewa di tengah murid-muridnya.
Dalam mengajar, Habib Muhammad selalu menyediakan tempat
duduk di sampingnya dalam keadaan kosong, dan tidak pernah ada seorang pun dari
murid-muridnya yang berani menempati tempat duduk yang kosong itu. Tempat duduk
yang kosong itu adalah tempat duduk Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar.
Pada umur 20 tahun, Habib Hadi pulang ke Indonesia melalui
pelabuhan Surabaya. Saat itu ia disambut oleh saudara-saudaranya yang saat itu
sudah sukses di Surabaya, seperti Habib Ahmad (pemborong jalanan), Habib
Muhamad (pedagang beras), Habib Mustafa (saudagar kopra). Tapi, Habib Hadi
menolak semua sambutan yang meriah, ia menolak pakaian yang sudah dipersiapkan
oleh saudara-saudaranya.
Melihat saudaranya yang sudah maju, Habib Hadi tidak
terpikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya. Ia justru mampir ke tempat
kenalannya yakni H. Abdul Aziz, seorang pedagang kain. Habib Hadi tiap hari
berjualan sarung, kain batik di pasar. Melihat Habib Hadi jualan di pasar,
saudara-saudaranya marah. Habib Hadi kemudian ditarik kerja di pelabuhan bagian
menimbang kopra.
Akhirnya Habib Hadi, menurut perintah saudara-saudaranya
kerja di pelabuhan. Namun, sebelum kerja di pelabuhan, ia sempat mampir ke
pasar untuk membeli paesan (nisan untuk orang mati) dan selalu dibawa ke tempat
kerja. Nisan yang terbuat dari kayu itu ditaruhnya di bawah timbangan dan
selalu ditaburi bunga yang masih segar. “Saya kalau menimbang kopra selalu
ingat nisan yang ada di bawah timbangan. Dengan mengingat nisan ini, saya
selalu ingat akan mati, maka timbangannya harus pas. Karena yang saya timbang
ini akan dipertanggungjawabkan, kelak di hari kiamat,” kata Habib Hadi
mengomentari tingkahnya yang selalu membawa nisan saat bekerja.
Pernah ia dipindah ke bagian keuangan (kasir), suatu saat ia
mengumpulkan uang yang rusak, palsu dan dikumpulkan semua. Dan akhirnya semua
uang yang rusak itu dibuang ke laut. Melihat perilaku Habib Hadi,
saudara-saudaranya sudah habis rasa kesalnya. Mereka marah dengan perilaku
Habib Hadi.
Melihat ketidakcocokan dalam bekerja dengan
saudara-saudaranya, Habib Hadi kemudian berhenti bekerja dan lebih banyak
beribadah serta hadir di acara-acara haul para ulama dan habib yang tersebar di
Pulau Jawa, mulai Habib Ali bin Abdurahman Al-Habsyi. Habib Hadi kembali
berdagang kain untuk menghidupi keluarga. Uniknya dalam berdagang, ia selalu
jujur mengatakan harga yang sebenarnya dari barang yang dijualnya kepada
pembelinya.”Boleh kamu kasih ongkosnya, atau lebihkan sedikit dari barang ini,”
kata Habib Hadi kepada para pembelinya.
KH Chasan Abdillah salah seorang ulama ternama di Glenmoore,
Banyuwangi pernah berkata kepada Habib Hadi, ”Habib, anda tidak ditipu sama
orang dengan berjualan seperti itu?”
“Biar orang-orang menipu saya. Yang penting, saya tidak
menipu sama orang lain,” kata Habib Hadi kepada KH Chasan Abdillah.
Habib Hadi saat Banyuwangi dikenal sangat dekat dengan Habib
Ja’far bin Syaikhon Assegaff (Pasuruan). Saat itu Habib Ja’far mempunyai tasbih
kesayangan yang diperoleh dari Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad. Tasbih itu
ternyata adalah milik Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi. “Siapa yang
memegang tasbih ini akan membuat kenyang akan dzikrullah,” kata Habib Ja’far
kepada orang-orang yang ada di majelis. Orang-orang berebut ingin
mendapatkannya. Tapi Habib Ja’far bin Syaikhon mencegahnya.”Sebentar lagi
orangnya akan datang.” Tak berapa lama kemudian Habib Hadi hadir di majelis,
Habib Ja’far langsung bangkit dan mengalungkan tasbih kesayangannya ke leher
Habib Hadi.
Saking dekatnya antara Habib Ja’far, kalau Habib Hadi
datang, selalu diajaknya ke kamar dan dikunci. Sekalipun Habib Ja’far sedang
ada pengajian atau tamu, Habib Hadi selalu diajaknya ke kamar khusus. Apa yang
mereka perbincangkan, tidak ada yang tahu.
Habib Hadi wafat pada usia 65 tahun dengan meninggalkan 8
orang anak (1 putra, 7 perempuan), pada Kamis, 4 Muharam 1393 H (8 Februari
1973). Jenazahnya kemudian dishalati dengan imam Habib Abdulkadir bin Husein
Assegaff (Pasuruan) dan dimakamkan di komplek makam Blambangan, Lateng,
Banyuwangi.
Makam Datuk Abrahim Bauzir adalah makam yang paling
dikeramatkan di Banyuwangi, Jawa Timur. Makam ini berada di 3 kilometer arah
utara kota Banyuwangi atau tepatnya Jalan Basuki Rahmat, Kelurahan Lateng.
Saat Ramadan, makam ini tak pernah sepi dari peziarah.
Mereka datang dari berbagai penjuru Indonesia baik Jawa, Kalimantan hingga
Aceh. Berbagai macam niatan mereka, mulai berdoa untuk meminta kesembuhan,
kesuksesan dan rejeki.
Kompleks makam menempati area hampir satu hektare di daerah
yang dulunya bernama Kampung Arab. Di halaman depan dan belakang tersebar
puluhan makam kerabat dan sahabat Datuk. Makam Datuk sendiri berada di ruangan
khusus sebelah utara kompleks.
Dalam ruangan khusus seluas 5x7 meter itu, Datuk Bauzir
dimakamkan. Tirai tipis menutupi nisannya yang berkeramik putih. Makam Datuk
diapit makam putranya, Syekh Ahmad, dan sahabatnya, Sayyid Hasan.
Abdul Munif, 36 tahun, keturunan keenam Datuk Bauzir,
menceritakan Datuk Bauzir merupakan bangsawan asal Yaman keturunan Bani Hasyim.
Ia adalah wali besar yang berperan dalam menyebarkan Islam di Banyuwangi serta
di Loloan, Jembrana, Bali.
Datuk datang ke Nusantara, kata Munif, sekitar tahun 1770
dan transit di Banyuwangi yang dulunya bernama Blambangan. Datuk kemudian
memilih siar Islam ke daerah Loloan, Bali, karena penduduk daerah ini mayoritas
masih beragama Hindu. "Sekarang di Loloan mayoritas warganya beragama
Islam," katanya.
Saat di Loloan, Datuk menikahi gadis setempat bernama Zaenab.
Dari perkawinan tersebut lahirlah dua putra bernama Syekh Sayyid Bakar Bauzir
dan Datuk Ahmad. Namun, putra sulungnya meninggal terlebih dahulu yang kemudian
disusul istrinya. Keduanya dimakamkan di Loloan.
Setelah kepergian istri dan anaknya, Munif menjelaskan,
Datuk kemudian pindah ke Banyuwangi dengan mengajak anak keduanya bersama
sahabatnya, Sayyid Hasan, pada 1840. Datuk meneruskan siar Islam di Banyuwangi
semasa Banyuwangi dipimpin Bupati Pringgokusumo. "Saat itu di Banyuwangi
juga masih banyak yang beragama Hindu," katanya.
Datuk tinggal di Kampung Arab yang saat kedatangannya sudah
ada ratusan orang Arab yang tinggal. Mereka kebanyakan juga berasal dari Yaman.
"Pada 1876 atau pada usia 86 tahun, Datuk tutup usia," kata lelaki
yang juga bertugas sebagai penjaga makam.
Makam Datuk dikeramatkan hingga kini karena cerita kesaktian
Datuk terus menjadi cerita turun-temurun. Menurut Munif, dulunya setiap hari
Datuk selalu salat Duha di atas laut yang berada di ujung Kampung Arab.
Syeikh Abdul Muhyi adalah Ulama tarekat Syattariah, penyebar
agama Islam di Jawa Barat bagian selatan yaitu kuningan, pamengpeuk, Batuwangi,
Pamijahan tasikmalaya.
seorang Ulama Tarekat Syattariyah karena guru beliau adalah
syeikh Abdur Rauf Singkel seorang sufi dan guru Tarekat Syattaiyah yang berasal
dari Singkel-Aceh
ASAL USUL DAN PENDIDIKAN
Syeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan
bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja
Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat,
pada 1071 H/1660 M dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa
Barat, 1151 H/1738 M. Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya daripada ayahnya sendiri dan
kemudian daripada para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia
berangkat ke Aceh untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar dengan Syekh
Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Lebih kurang enam tahun lamanya Syeikh Abdul
Muhyi belajar dengan ulama besar Aceh itu, iaitu dalam lingkungan tahun 1090
H/1679 M-1096 H/1684 M.
Tahun pembelajaran Syeikh Abdul Muhyi di Aceh kepada Syeikh
Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu, kita dapat membandingkan dengan tahun
pembelajaran Syeikh Burhanuddin Ulakan yang dipercayai termasuk seperguruan
dengannya.
Syeikh Burhanuddin Ulakan yang berasal dari Minangkabau itu
belajar kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri bermula pada 1032 H/1622 M, tetapi
tahun ini tetap masih dipertikaikan kerana riwayat yang lain menyebut bahawa
ulama yang berasal dari Minangkabau itu dilahirkan pada tahun 1066 H/1655 M.
Maka kita perlu membandingkan dengan tahun kelahiran Syeikh
Yusuf Tajul Khalwati dari tanah Bugis-Makasar, iaitu 1036 H/1626 M, selanjutnya
keluar dari negerinya menuju ke Banten 1054 H/1644 M, seterusnya ke Aceh
belajar kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri juga. Selain itu, dapat
juga kita bandingkan dengan tahun kehidupan Syeikh Abdul Malik (Tok Pulau
Manis) Terengganu, iaitu tahun 1060 H/1650 M hingga tahun 1092 H/1681 M; Semua
ulama yang tersebut dikatakan adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.
Banyak pula ulama bercerita bahawa semua mereka termasuk Syeikh Abdul Muhyi
Pamijahan adalah bersahabat.
Bliau diriwayatkan sempat belajar ke luar negeri ke Mekah,
Madinah, Baghdad dan lain-lain. Termasuk Syeikh Abdul Muhyi diriwayatkan adalah
murid kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani di Mekah dan Syeikh Ahmad al-Qusyasyi di
Madinah, yang kedua-dua ulama itu adalah ulama ahli syariat dan haqiqat yang
paling terkenal pada zamannya.
Setelah Syeikh Abdul Muhyi lama belajar di Mekah dan
Madinah, beliau melanjutkan pelajarannya ke Baghdad. Tidak jelas berapa lama
beliau tinggal di Baghdad, tetapi diriwayatkan ketika beliau berada di Baghdad
hampir setiap hari beliau menziarahi makam Syeikh Abdul Qadir al-Jilani yang
sangat dikaguminya.
Dalam percakapan masyarakat, Syeikh Abdul Muhyi adalah
termasuk keturunan/zuriat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Allah, Quthbul
Ghauts, yang sangat terkenal itu. Riwayat yang lain diceritakan bahawa Syeikh
Abdul Muhyi ke Baghdad dan Mekah adalah mengikuti rombongan gurunya, Syeikh
Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Dari Baghdad beliau kembali lagi ke Mekah dan
selanjutnya kembali ke Jawa dan berkahwin di Ampel.
Guru Beliau Syeikh Abdu Rauf Singkel adalah ulama yang
berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh (paham wahdatul
wujud/wujuddiyyah) dengan paham sunah. Paham inilah yang dibawa oleh Syekh
Abdul Muiyi Pamijahan ketanah jawa. Setelah menikah Ia dan keluarganya
meninggalkan ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat. Mereka tiba
di darma (termasuk daerah kuningan). Atas permintaan masyarakat setempat agar
Ia menetap selama tujuh (7) tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan
ajaran islam, kemudian Ia kembali mengembara dan sampai di pamengpeuk garut dan
hanya menetap selama satu (1) tahun ( 1678-1679) untuk menyebarkan agama islam
di mana ketika itu masyarakat setempat yang masih beragama hindu .
Setelah itu mereka kembali mengembara hingga batuwangi,
lebaksiuh dan menetap selama empat tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun
tersebut Ia berhasil mengislamkan penduduk yang sebelumnya beragama hindu.
Menurut cerita rakyat keberahasilannya dalam melakukan dakwah karena
kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. di sini Ia mendirikan
mesjid sebagai tempat pengajian untuk mendidik para kader yang akan membantunya
menyebarkan agama islam lebih jauh ke selatan jawa barat. Setelah empat tahun
menetap di lebaksiuh , Ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang di kenal
sebagai gua safar wadi di pamijahan- tasikmalya-jawa barat.
Menurut cerita rakyat kehadirannya di gua safar wadi atas
undangan bupati sukapura yang meminta beliau menumpas aji-aji hitam batara
karang di pamijahan. Disana terdapat gua tempat pertapaan orang-orang menuntut
aji-aji hitam. Beliau dapat memenanginya. Ia kemudian menjadikan gua sebagai
permukiman bagi keluarga dan pengikutnya. Gua tersebut sangat sesuai untuk
melakukan semedi menurut ajaran syatariyah. Setelah sekian lama bermukim dan
mendidik para santrinya, Ia dan santrinya menyebarkan agama islam di kampung
bojong (6 Km dari gua), yang sekarang dikenal sebagai kampung bengkok. sambil
sesekali kembali ke gua safar wadi. Sekitar 2 Km dari kampung bengkok Ia
mendirikan kampung yang sekarang terkenal sebagai kampung safa wadi. di kampung
ini Ia mendirikan mesjid yang sekarang komplek mesjid agung pamijahan.
AKTIVITAS
Setelah selesai perkahwinan di Ampel, Syeikh Abdul Muhyi
bersama isteri dan orang tuanya berpindah ke Darma, dalam daerah Kuningan, Jawa
Barat. Selama lebih kurang tujuh tahun (1678 M-1685 M) menetap di daerah itu mendidik
masyarakat dengan ajaran agama Islam. Kemudian berpindah pula ke daerah
Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Di daerah itu, beliau hanya menetap lebih
kurang setahun saja (1685-1686), walau bagaimanapun beliau berhasil menyebarkan
agama Islam kepada penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu.
Pada 1686 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung
Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari selepas pemakaman ayahnya, Syeikh
Abdul Muhyi berpindah ke daerah Batuwangi. Beliau berpindah pula ke tempat yang
berhampiran dengan Batuwangi iaitu ke Lebaksiuh. Selama lebih kurang empat
tahun di Lebaksiuh (1686 M-1690 M), Syeikh Abdul Muhyi berhasil mengislamkan
penduduk yang masih beragama Hindu ketika itu.
Menurut cerita, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam
terutama kerana Syeikh Abdul Muhyi adalah seorang Wali Allah yang mempunyai
karamah, yang dapat mengalahkan bajingan-bajingan pengamal "ilmu
hitam" atau "ilmu sihir". Di sanalah Syeikh Abdul Muhyi
mendirikan masjid, tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader
yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bahagian selatan
Jawa Barat.
Kemudian Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke satu desa, iaitu
Gua Safar Wadi di Karang Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Perpindahannya ke
Karang Pamijahan itu, menurut riwayat bahawa beliau diperintahkan oleh para
Wali Allah dan perjumpaan secara rohaniah kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani,
supaya beliau mencari suatu gua untuk tempat berkhalwat atau bersuluk di Jawa
Barat. Cerita mengenai ini banyak dibungai dengan berbagai-bagai dongeng yang
merupakan kepercayaan masyarakat terutama golongan sufi yang awam.
Bagi mengimbangi cerita yang bercorak mitos itu, ada riwayat
yang bercorak sejarah, bahawa Syeikh Abdul Muhyi diundang oleh Bupati Sukapura,
Wiradadaha IV, R. Subamanggala untuk memerangi dan membasmi ajaran-ajaran sihir
yang sesat Batara Karang di Karang Pamijahan dan di gua Safar Wadi itu. Di
kedua-dua tempat tersebut adalah tempat orang-orang melakukan pertapaan kerana
mengamalkan ilmu-ilmu sihirnya.
Oleh sebab Syeikh Abdul Muhyi memang hebat, beliau pula
dianggap sebagai seorang Wali Allah, maka ajaran-ajaran sihir yang sesat itu
dalam waktu yang singkat sekali dapat dihapuskannya. Penjahat-penjahat yang
senantiasa mengamalkan ilmu sihir untuk kepentingan rompakan, penggarongan dan
kejahatan-kejahatan lainnya berubah menjadi manusia yang bertaubat pada Allah,
setelah diberikan bimbingan ajaran Islam yang suci oleh Syeikh Abdul Muhyi,
Wali Allah yang tersebut itu.
Gua Safar Wadi pula bertukar menjadi tempat orang melakukan
ibadat terutama mengamalkan zikir, tasbih, tahmid, selawat, tilawah al-Quran
dan lain-lain sejenisnya. Maka terkenallah tempat itu sebagai tempat orang
melakukan khalwat atau suluk yang diasaskan oleh ulama yang terkenal itu.
Disingkatkan saja kisahnya, bahawa kita patut mengakui dan
menghargai jasa Syeikh Abdul Muhyi yang telah berhasil menyebarkan Islam di
seluruh Jawa Barat itu. Bukti bahawa beliau sangat besar pengaruhnya, sebagai
contoh Bupati Wiradadaha IV, iaitu Raden Subamanggala pernah berwasiat bahawa
jika beliau meninggal dunia supaya beliau dikuburkan di sisi gurunya Syeikh
Abdul Muhyi Pamijahan itu. Tempat tersebut sekarang lebih dikenali dengan nama
Dalem Pamijahan.
Murid-murid yang tertentu, Syeikh Abdul Muhyi mentawajjuhkannya
menurut metod atau kaedah Thariqat Syathariyah yang salasilahnya diterima
daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Walaupun tarekat yang sama
diterimanya juga kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, iaitu guru juga kepada Syeikh
Abdur Rauf al-Fansuri, namun Syeikh Abdul Muhyi memulakan salasilahnya tetap
menyebut Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Hal demikian kerana tarekat yang
tersebut memang terlebih dulu diterimanya daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al
Fansuri.
Setelah beliau ke Mekah, diterimanya tawajjuh lagi daripada
Syeikh Ahmad al-Qusyasyi itu. Maka berkembanglah Thariqat Syathariyah yang
berasal daripada penyebaran Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu di
tempat-tempat yang tersebut, melalui bai'ah, tawajjuh, dan tarbiyah ruhaniyah
yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Muhyi muridnya itu.
KETURUNAN
Menurut riwayat, Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan mempunyai
empat isteri. Hasil perkahwinannya itu, beliau memperoleh seramai 18 anak.
Menerusi Raden Ayu Bakta, memperoleh anak bernama Kiyai Haji Muhyiddin atau
digelar Dalem Bojong. Namun menurut Aliefya M. Santrie, dalam buku Warisan
Intelektual Islam Indonesia, setelah beliau pulang dari Pamijahan beliau
menemukan satu artikel dalam majalah Poesaka Soenda yang menunjukkan bahawa
tidak identiknya Kiyai Haji Muhyiddin dengan Dalem Bojong.
Kedua-duanya memang anak Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan,
tetapi Kiyai Haji Muhyiddin personaliti tersendiri dan Dalem Bojong personaliti
yang lain pula. Menurutnya makam Kiyai Haji Muhyiddin dalam majalah itu disebut
namanya yang lain, iaitu Bagus Muhyiddin Ajidin, terletak di sebelah selatan
makam Syeikh Abdul Muhyi, sedang makam Dalem Bojong terletak di sebelah timur.
Barangkali keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu sangat
ramai yang menjadi ulama di daerah Jawa Barat, sewaktu penulis berulang-alik di
Pondok Gentur, Cianjur (1986 M-1987 M) difahamkan bahawa Kiyai Haji Aang Nuh di
pondok pesantren adalah termasuk keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan.
Penulis sendiri menerima beberapa amalan wirid dari kiyai itu dan ternyata
memang terdapat hadiah al-Fatihah untuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan
beberapa ulama lainnya untuk memulakan amalan.
Dari Kiyai Haji Aang Nuh juga, penulis mendengar
cerita-cerita yang menarik mengenai Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sampai
sekarang Pondok pesantren Gentur dikunjungi mereka yang mempunyai permasalahan
yang sukar diselesaikan dari seluruh Indonesia, tempat itu sentiasa ramai
kerana doa kiyai itu dianggap mustajab.
Di Pondok-pesantren Gentur itu tidak mengajar disiplin ilmu
sebagai pondok-pesantren lainnya, di situ hanya mengajar amalan-amalan wirid
terutama selawat atas Nabi Muhammad. Penulis sempat mewawancara pengunjungnya,
menurut mereka wirid atau amalan yang diterima dari kiyai itu terbukti
mustajab.
Oleh sebab kepopularan ulama yang dianggap Wali Allah ini,
beberapa sejarawan, budayawan dan lain-lain telah berusaha menyelidiki biografi
ulama yang berasal dari Pulau Lombok itu. Di antara mereka umpamanya seorang
Belanda, Snouck Hurgranje, pernah mengembara di Jawa Barat dan di Sukabumi
menemukan beberapa naskhah karya yang dibangsakannya kepada karya Syeikh Abdul
Muhyi Pamijahan.
R. Abdullah Apap ibn R. Haji Miftah menyusun sebuah buku
berjudul, Sejarah Pamijahan: Kisah Perjuangan Syeik Haji Abdulmuhyi
Mengembangkan Agama Islam di Sekitar Jabar. Aliefya M. Santrie menulis artikel
Martabat (Alam) Tujuh Suatu Naskah Mistik Islam Dari Desa Karang, Pamijahan.
Dan ramai lagi tokoh yang membuat kajian mengenai ulama yang dibicarakan ini.
Khas mengenai artikel Aliefya M. Santrie yang lebih menjurus
kepada pengenalan ajaran Martabat Tujuh versi Kiyai Haji Muhyiddin yang ditulis
dengan huruf pegon. Setelah penulis teliti dan membanding dengan naskhah yang
ada pada penulis yang ditulis dalam bahasa Melayu/Jawi, yang juga tercatat
sebagai karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, memang banyak persamaan.
Demikian juga dengan manuskrip koleksi Muzium Islam Pusat
Islam Malaysia nombor kelas MI 839, membicarakan Martabat Tujuh yang merupakan
nukilan karya Syeikh Abdul Muhyi itu.
Sungguhpun demikian perlu kita ketahui bahawa ajaran
Martabat Tujuh sebenarnya bukanlah ciptaan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan tetapi
yang pertama membicarakan ajaran itu ialah dalam kitab bahasa Arab berjudul
Tuhfatul Mursalah karya Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri. Kitab
tersebut disyarah oleh Syeikh Abdul Ghani an-Nablusi.
Martabat Tujuh dalam bahasa Melayu selain yang dibicarakan
oleh Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan juga banyak, dimulai oleh ulama-ulama tasawuf
di Aceh, diikuti oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan Ad-Durrun
Nafisnya, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani juga membicarakannya dalam Siyarus
Salikin, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam Manhalus Shafi dan ramai
lagi.
Oleh itu, perkembangan ilmu tersebut di dunia Melayu tumbuh
subur, tak ubahnya seperti perkembangan ilmu tauhid metode sifat 20 dan fiqh
menurut Mazhab Syafie pada zaman itu.
Sebagai menutup artikel ini, perlu juga penulis sebutkan
sungguhpun Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan terkenal di seluruh Jawa Barat tetapi
riwayat hidupnya hampir-hampir tak dikenal di dunia Melayu lainnya. Oleh itu,
artikel ini adalah satu usaha memperkenalkannya yang disejajarkan dengan
ulama-ulama terkenal yang lain, yang hidup sezaman dengannya, iaitu Syeikh
Abdul Malik Terengganu Syeikh Burhanuddin Ulakan, Syeikh Yusuf Khalwati, Syeikh
Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani dan banyak lagi lainya
Pandegelang, Banten. Jawa Barat adalah kota asli dari Ibu
mertua saya. Penduduk Pandegelang terkenal sebagai penganut agama Islam yang
taat. Berada di kota yang terkenal dengan Islam yang kuat membuat saya
penasaran siapakah tokoh yang menyebarkan dan mengajarkan Islam di daerah
Pandegelang.
Ternyata orang yang berjasa tersebut adalah Syekh Maulana
Mansyur. Beliau dimakamkan di Cikaduen, Pandeglang. Peninggalan Syekh Maulana Mansyur yang
terkenal adalah Batu Quran yang terletak di kaki Gunung Karang, di Desa Kadubumbang
Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Letaknya arah Cimanuk, 7
km dari pertigaan Cimanuk ada belokan ke kiri 300m (Sebelum pemandian
Cikoromoy). Banyak peziarah yang datang Batu Quran dalam rangka wisata
religi.
Untuk mencapai Kawasan Batu Quran kita harus menuruni tangga
berbatu. Tidak jauh dari parkiran mobil, lokasi Batu Quran berada di bawah
pohon beringin besar dan rindang. Bila berbicara Batu Quran banyak orang
menyebutnya Pemandian Batu Quran karena karena banyak orang yang datang ke Batu
Quran untuk mandi dan berendam.
Dengan air suci dari Batu Quran banyak orang telah sembuh
penyakitnya. Untuk berendam sendiri kolam yang terdapat Batu Quran khusus untuk
kaum lelaki. Bagi perempuan terdapat tempat tersendiri untuk berendam tempatnya
lebih tertutup.
Sayang sekali, tidak terdapat kamar mandi untuk berganti
baju. Sebelum berendam, juru kunci Batu Quran mengajak peziarah untuk memasuki
mesjid di samping kolam Batu Quran untuk membaca tawasul atau doa untuk Syekh
Maulana Mansyur.
Sejarah dari Batu Quran berkaitan erat dengan Syekh Maulana
Mansyur, ulama Banten yang terkenal di abad ke 15. Sejarah resmi tidak saya
temukan mengenai Batu Quran di Cibulakan ini. Menurut penuturan penjaga Batu
Quran, lokasi di mana Batu Quran ini dahulu adalah pijakan kaki Syekh Maulana
Mansyur ketika hendak pergi berhaji ke tanah suci, Mekah.
Dengan membaca basmalah sampailah beliau ke tanah suci,
Mekah. Ceritapun berlanjut ketika Syekh Maulana Mansyur pulang dari Mekkah
muncul bersama dengan air dari tanah yang tidak berhenti mengucur. Penjaga Batu
Quran menyakini bahwa air yang mengucur tersebut adalah air zam zam.
Derasnya air tersebut menggenai daerah sekitar dan tidak
berhenti. Syekh Maulana Mansyur kemudian bermunajat kepada Allah dengan sholat
2 rakaat di dekat keluarnya air (lokasi tersebut dikenal dengan batu sajadah).
Selesai shalat beliau kemudian mendapat petunjuk untuk menutup air tersebut
dengan al Quran. Atas izin Allah air tersebut berhenti mengucur dan al Quran
tersebut berubah menjadi batu sehingga batu tersebut dinamakan Batu Quran.
Ada sumber yang menyatakan bahwa batu Quran adalah adalah
replika dari Batu Quran yang ada di SangHyang Sirah, Taman Nasional Ujung Kulon
yang berkaitan erat dengan sejarah Sayidina Ali, Prabu Kian Santang dan Prabu
Munding Wangi. Sejarah Prabu Kian Santang (anak Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Pajajaran) dikisahkan bahwa beliau belajar agama Islam di tanah suci, Mekkah
pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Setibanya di tanah air, Prabu Kian Santang kemudian
beruzzlah ke Gunung Suci, Garut, Jawa Barat dan dikenal dengan sebutan Sunan
Rahmat Suci. Untuk lebih mengetahui ajaran islam mengenai khitan maka Prabu
Kian Santang menyuruh utusannya untuk belajar kepada Sayidina Ali bin Abi
Thalib di jazirah Arab.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kemudian pergi ke nusantara
untuk menyerahkan kitab suci al Quran kepada Prabu Kian Santang tetapi Prabu
Kian Santang telah meninggalkan tempat tersebut dan pergi menemui Prabu Munding
Wangi yang telah tilem di Sanghyang Sirah, Ujung Kulon.
Mendengar berita tersebut Sayidina Ali bin Abi Thalib
mengejar ke Sanghyang Sirah tetapi Prabu Kian Santang telah pergi. Prabu
Munding Wangi menerima kitab Al Quran disimpannya di dalam kotak batu bulat.
Kemudian kotak batu berisi Al Quran tersebut ditaruh di tengah batu karang yang
dikelilingi oleh air kolam yang sumber airnya berasal dari tujuh sumber mata
air (sumur).
Peristiwa Batu Quran ini beberapa abad kemudian diketahui
oleh Syekh Maulana Mansyur berdarkan ilham yang didapatnya dari hasil tirakat.
Segeralah Syekh Maulana Mansyur berangkat ke Sanghyang Sirah.
Karena jauhnya jarak Sanghyang Sirah dan membutuhkan waktu
dan energi yang luar biasa maka untuk memudahkan umat Islam yang ingin melihat
Batu Quran maka dibuatlah replika Batu Quran dengan lengkap sumur tujuhnya di
Cibulakan Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat.
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara. Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna disamping sebagai pakunya negara Indonesia. Setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’iannya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali!
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”. si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyathi menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Alam Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin menggebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.”
Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,”Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk sholat istikharah. Setelah melaksanakan sholat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Abuya Dimyati Dipenjara
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hizib Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah.
Abuya Dimyati Dan Mbah Latifah El Dalhar
Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau apa jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar.
Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata, ”Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.” Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?”
Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Karomah Abuya Dimyati
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena tak banyak kyai di Indonesia yang mengunjungi Irak, paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga makam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
Si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
Maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyati Wafat
Abuya Dimyati meninggalkan kita semua pada Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…..