Jumat, 23 Juni 2017

Kiai Thohir, Sang Pemikir Ganda Banyuwangi

Pegunungan di pedalaman Kabupaten Trenggalek menjadi tempat lahir Kiai Thohir. Nyaris tak ada yang spesial dari tempat lahirnya itu. Latar belakang keluarganya pun biasa-biasa saja. Bapaknya, Mbah Munshorif, hanyalah seorang petani biasa. Namun, hasratnya untuk menuntut ilmu agama lah yang mengantarkannya, kelak, menjadi orang besar.

Semangat Thohir muda dalam menuntut ilmu agama mengantarkannya ke penghujung timur Pulau Jawa. Ia nyantri di Pesantren Darus Sholah, Tegalpare, Muncar yang diasuh oleh KH. Masrur. Kecerdasan, akhlaq dan sikapnya membuat Kiai Masrur kepincut dengan pemuda yang faqih tersebut. Thohir muda diambil menantu dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyai Tazkiyah. Pernikahan yang berlangsung pada tahun 1956 itu, nantinya melahirkan 14 orang putra putri.

Meski telah menikah, gairah menuntut ilmu Kiai Thohir tak pernah surut. Atas izin istri dan mertuanya, ia kembali nyantri di Pesantren Tebuireng, Jombang selama empat tahun.

Sekitar tahun 1960-an, Kiai Masrur mangkat. Kepemimpinan Pesantren Darus Sholah pun dilanjutkan oleh Kiai Thohir. Meski berkiprah sebagai pengasuh pesantren, namun tak menghalangi kiprahnya di bidang yang lain.

Di Nahdlatul Ulama Banyuwangi, Kiai Thohir telah berkiprah sejak muda. Ia merintisnya sebagai pengurus GP Ansor, menjadi Pengurus Ranting NU Tegalpare, Pengurus LP Maarif, Katib Syuriah hingga pada tahun 1980 beliau terpilih sebagai Rois Syuriah PCNU Banyuwangi. Bahkan, jabatan Rois Syuriah tersebut diemban hingga akhir hayatnya di tahun 1991.

Tak hanya di NU, Kiai Thohir juga aktif di dunia politik. Ia tercatat empat periode menjadi anggota legeslatif mewakili PPP di DPRD Banyuwangi. Bahkan, pernah menjadi wakil ketua DPRD di periode terakhirnya di legeslatif. Namun, pasca Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984 dan memutuskan untuk kembali ke Khittoh 1926, Kiai Thohir mengundurkan diri dari politik praktis.

“Ia tegas memilih NU, ketimbang jadi politisi.” kenang putra ketiganya, Abdul Haris, kepada Tim Peneliti Sejarah NU Banyuwangi.

Jabatan sebagai ketua MUI Banyuwangi juga pernah Kiai Thohir. Ia menjadi ketua pertama hingga akhir hayatnya.

Ada banyak karya yang telah ditorehkan oleh Kiai Thohir. Selain sukses menjaga eksistensi NU Banyuwangi dibawah tekananan Orde Baru, Kiai Thohir juga menginisiasi berdirinya Madrasah Aliyah yang sekarang dikenal dengan MAN banyuwangi. Selain itu, beliau bersama Kiai Zarkasyi Djunaidi juga merintis kampus yang kini berdiri megah, Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng.

Dengan aktivitas kemasyarakatan, politik dan mengasuh pesantren, tak membuat Kiai Thohir menelantarkan kitab-kitabnya. Ia begitu rajin menelaah kitab-kitab fiqih. Dalam berbagai forum bahtsul masail, beliau aktif. Di MMPP (Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren) yang diadakan tiap empat bulan, Kiai Thohir tercatat sebagai perumus dalam forum bahtsul masail yang diselenggarakan di majelis tersebut.

Kehebatan Kiai Thohir dalam menyeimbangkan antara aktivitas kemasyarakatan yang padat dan kegandrungannya menelaah kitab, teman sejawatnya, KH. Mukhtar Syafaat menjulukinya sebagai kiai yang “pikirane loro”, kiai yang memiliki pemikiran ganda: kemasyarakatan dan keilmuwan.

http://banyuwangi.nu.or.id/2016/11/25/kiai-thohir-sang-pemikir-ganda/

0 komentar: