Pegunungan di pedalaman Kabupaten Trenggalek menjadi tempat
lahir Kiai Thohir. Nyaris tak ada yang spesial dari tempat lahirnya itu. Latar
belakang keluarganya pun biasa-biasa saja. Bapaknya, Mbah Munshorif, hanyalah
seorang petani biasa. Namun, hasratnya untuk menuntut ilmu agama lah yang
mengantarkannya, kelak, menjadi orang besar.
Semangat Thohir muda dalam menuntut ilmu agama
mengantarkannya ke penghujung timur Pulau Jawa. Ia nyantri di Pesantren Darus
Sholah, Tegalpare, Muncar yang diasuh oleh KH. Masrur. Kecerdasan, akhlaq dan
sikapnya membuat Kiai Masrur kepincut dengan pemuda yang faqih tersebut. Thohir
muda diambil menantu dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyai Tazkiyah.
Pernikahan yang berlangsung pada tahun 1956 itu, nantinya melahirkan 14 orang
putra putri.
Meski telah menikah, gairah menuntut ilmu Kiai Thohir tak
pernah surut. Atas izin istri dan mertuanya, ia kembali nyantri di Pesantren
Tebuireng, Jombang selama empat tahun.
Sekitar tahun 1960-an, Kiai Masrur mangkat. Kepemimpinan Pesantren
Darus Sholah pun dilanjutkan oleh Kiai Thohir. Meski berkiprah sebagai pengasuh
pesantren, namun tak menghalangi kiprahnya di bidang yang lain.
Di Nahdlatul Ulama Banyuwangi, Kiai Thohir telah berkiprah
sejak muda. Ia merintisnya sebagai pengurus GP Ansor, menjadi Pengurus Ranting
NU Tegalpare, Pengurus LP Maarif, Katib Syuriah hingga pada tahun 1980 beliau
terpilih sebagai Rois Syuriah PCNU Banyuwangi. Bahkan, jabatan Rois Syuriah
tersebut diemban hingga akhir hayatnya di tahun 1991.
Tak hanya di NU, Kiai Thohir juga aktif di dunia politik. Ia
tercatat empat periode menjadi anggota legeslatif mewakili PPP di DPRD
Banyuwangi. Bahkan, pernah menjadi wakil ketua DPRD di periode terakhirnya di
legeslatif. Namun, pasca Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984 dan
memutuskan untuk kembali ke Khittoh 1926, Kiai Thohir mengundurkan diri dari
politik praktis.
“Ia tegas memilih NU, ketimbang jadi politisi.” kenang putra
ketiganya, Abdul Haris, kepada Tim Peneliti Sejarah NU Banyuwangi.
Jabatan sebagai ketua MUI Banyuwangi juga pernah Kiai
Thohir. Ia menjadi ketua pertama hingga akhir hayatnya.
Ada banyak karya yang telah ditorehkan oleh Kiai Thohir.
Selain sukses menjaga eksistensi NU Banyuwangi dibawah tekananan Orde Baru,
Kiai Thohir juga menginisiasi berdirinya Madrasah Aliyah yang sekarang dikenal
dengan MAN banyuwangi. Selain itu, beliau bersama Kiai Zarkasyi Djunaidi juga
merintis kampus yang kini berdiri megah, Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng.
Dengan aktivitas kemasyarakatan, politik dan mengasuh
pesantren, tak membuat Kiai Thohir menelantarkan kitab-kitabnya. Ia begitu
rajin menelaah kitab-kitab fiqih. Dalam berbagai forum bahtsul masail, beliau
aktif. Di MMPP (Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren) yang diadakan tiap empat
bulan, Kiai Thohir tercatat sebagai perumus dalam forum bahtsul masail yang
diselenggarakan di majelis tersebut.
Kehebatan Kiai Thohir dalam menyeimbangkan antara aktivitas
kemasyarakatan yang padat dan kegandrungannya menelaah kitab, teman sejawatnya,
KH. Mukhtar Syafaat menjulukinya sebagai kiai yang “pikirane loro”, kiai yang
memiliki pemikiran ganda: kemasyarakatan dan keilmuwan.
http://banyuwangi.nu.or.id/2016/11/25/kiai-thohir-sang-pemikir-ganda/
0 komentar: